Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

(Incomplete)Christmas-Story Session 1

So... I was wondering. Bagaimana hebohnya sorga saat Bayi itu hendak dilahirkan? Here's the imagination of a-lonely-story-teller-during-Christmas-day-2010-in-Japan. ---- Part 1: Jejaring sosial malaikat Sejak awal dijadikan, setiap malaikat punya fungsi tertentu. Mereka punya profil siapa dia, apa tugasnya, dan spesialisasi yang dipunyainya. Dan mereka tergabung dalam sebuah jejaring sosial malaikat. That's how they communicate with each others. Biasanya, setelah selesai bertugas di bumi, para malaikat saling share status dan foto-foto aksi mereka saat di bumi - lalu rame2 dikomentari oleh malaikat lain. ( and... one day, ide tentang jejaring sosial semacam ini menginspirasi seorang anak muda yang kemudian diwujudkan menggunakan teknologi internet yang menjadikan anak muda tersebut dinobatkan sebagai people of the year 2010 oleh majalah Times, you-kn0w-who-he-is ). Part 2: Sometime - somewhere in heaven (estimated earth time: 4-6AD, 2000 years ago) Rencana kelahiran Bayi itu me

Tagihan Air

Jadi, kemaren tiba2 ada surat di kotak pos saya. Seperti biasa, ditulis dengan rapi dalam bahasa Kanji. Tidak ada petunjuk itu surat apa. Yang bisa saya baca, tentunya adalah angka. Ada angka 1.257 dan diikuti simbol untuk mata uang yen. Angka tersebut punya dua kemungkinan, (1) Saya dapat uang 1.257 yen. (2) Saya disuruh bayar 1.257 yen. Tentu kemungkinan ke-1 lebih menyenangkan ketimbang kemungkinan ke-2. Tapi mengingat saya nggak pernah pasang lotere dalam bentuk apapun, saya mengeliminasi kemungkinan pertama. Jadi tinggal kemungkinan ke-2, yaitu saya harus bayar 1.257 yen. Pertanyaan berikutnya adalah, kenapa. Pertanyaan itu tidak mudah dijawab jika tidak ada petunjuk angka "5m (kubik)" yang muncul di dekat 1.257 yen. Jadi saya menyimpulkan itu adalah tagihan untuk sesuatu yang saya pakai sebanyak 5m (kubik). Jelas itu bukan tagihan listrik, karena saya nggak pernah pakai listrik dengan menggunakan satuan meter kubik. Saya menggunakan listrik dalam satuan kilo watt hour

Selamat Ulang Tahun

Saya nggak lagi ulang tahun. Juga nggak lagi dapet ucapan selamat ulang tahun ato kepingin dikasi ucapan ulang tahun. Dan sedang nggak ada rencana ngucapkan selamat ulang tahun... Emang sekarang ada yang lagi ulang tahun? Ya pasti ada... Cuman saya nggak tau siapa. Lalu kenapa judul postingnya selamat ulang tahun? Ceritanya begini... Dulu, waktu saya masih kecil , saya ngerasa sedikit bangga/senang kalo ada yang ngasi ucapan selamat ulang tahun (plus kado) ke saya. Siapapun dia, pasti dia nganggep saya spesial sampe mau "merepotkan" diri mengingat ato mencatat hari ulang tahun saya. Mau repot menemui saya untuk ngasi ucapan ke saya (secara waktu itu nggak ada hape). Tapi sejak munculnya berbagai gadget dengan fitur reminder, nilai dari memberi ucapan selamat ulang tahun menjadi turun. Siapapun yang punya hape, bisa dengan mudah mencatat ulang tahun temannya. Pada hari-H, akan muncul reminder bahwa si X sedang ulang tahun hari ini. Si empunya HP, yang tadinya nggak sadar kalo

(Kisah) Belajar Bahasa (Jepang) - part 3

Belajar bahasa membutuhkan kerja keras. Nggak bisa sekedar masuk kelas, mendengarkan guru menjelaskan, menghafalkan vocab dan mencontek pe-er teman, tiba2 bisa berbahasa dengan baik... Ada kerja keras lain yang dibutuhkan. Beberapa hari ini, saya mulai mengubah metode belajar bahasa Jepang. Mungkin selama ini usaha saya belajar Bahasa Jepang kurang keras... Jadi saya mulai menambah porsi belajar saya. Dari yang awalnya hanya 100 menit per hari tatap muka dengan dosen, saya tambah 3-4 jam sehari dengan belajar secara mandiri. Seriously... Pulang dari Lab, sekitar jam 7 ato jam 8 malem. Sebenernya saya sudah capek... Tapi alih-alih istirahat, sambil nyiapkan makan malam, saya belajar... Sambil makan saya belajar. Selesai makan, saya lanjutkan. Beberapa hari ini, saya selalu menambah porsi belajar Bahasa Jepang di malam hari minimal 3 jam non-stop. Kemarin saya bahkan tidur jam 1 pagi. Capek belajar keras kayak gitu? Jujur, kadang saya capek... Saya bahkan bisa nangis sendiri di tengah2 b

Live by faith

Note seorang teman di FB tentang Tuhan membuat saya merenung sepanjang pagi. Nggak peduli seberapa pintar (ato bodoh, kaya, cakep, jeleknya) kita, kita tetep manusia yang terbatas. Pengelihatan kita terbatas. Kita cuman bisa melihat benda yang memantulkan cahaya. Orang fisika bilang, mata kita hanya bisa menangkap gelombang elektromagnet yang panjang gelombangnya 400-700nm ato istilah mereka visible light. Gelombang lain dengan panjang gelombang di luar itu, sudah nggak bisa ditangkap oleh mata kita. Waktu masak pake Microwave, gelombangnya microwave (yang juga termasuk gelombang elektromagnetik) udah nggak bisa ditangkap oleh mata - tau2 masakannya jadi anget. Gelombangnya radio, televisi, ato hape juga nggak kedeteksi mata, tau2 radionya bisa bunyi, televisinya bisa menghasilkan gambar, hape-nya bisa buat komunikasi. Gelombangnya ada, tapi mata manusia nggak bisa nangkep. Pendengaran kita terbatas. Ada syarat yang harus dipenuhi kalau kita mau mendengar sesuatu. Harus ada sesuatu yan

(Kisah) Belajar Bahasa (Jepang) - part 2

Sebenarnya ya... Sebenarnya saya agak frustasi belajar bahasa ((di) Jepang). Sudah tinggal 10 minggu di Jepang, dan genap 8 minggu ikut kelas intensif Bahasa Jepang Basic I (seminggu 5x @ 100 menit, diajar langsung oleh profesor dan native speaker pula!) tapi waktu di lab, ketemu dengan teman2 Jepang, boro2 ngomong, dengerkan mereka ngomong aja nggak bisa nangkep... Entah versi bahasa Jepang berapa yang diucapkan temen2 lab saya itu... Hipotesa saya, teman2 lab saya melakukan persetongkolan jahat dengan menggunakan bahasa yang mereka ciptakan sendiri. Mereka tidak berbicara dalam bahasa Jepang. Mereka punya encoder di pita suara mereka, sehingga waktu mereka berbicara, suara yang muncul bukan Bahasa Jepang, tapi bahasa acak yang memang tidak bisa dimengerti. Sementara yang mendengar, punya decoder di telinga mereka. Begitu sinyal suara itu masuk di telinga, segera di-decode sehingga bisa dimengerti. Saya sengaja tidak diberi both encoder dan decoder itu sebagai salah satu bentuk o

(Kisah) Belajar Bahasa (Jepang) - part 1

Hari ini, genap sudah 2 bulan saya ikut kelas Bahasa Jepang. Lama course-nya 100 menit setiap pertemuan. Ada 4 guru berbeda yang ngajar, tapi murid2nya selalu sama. Salah satu gurunya sudah menunjukkan sikap tidak bersahabat dengan cara nggak mau menjelaskan dalam Bahasa Inggris kepada para murid yang jelas2 masih cupu dalam Bahasa Jepang. Gara-gara ibu itu, kelas jadi terbagi menjadi 2 kubu, either mengerti sekali yang dijelaskan ato yang blas nggak ngerti. (tolong, nggak perlu cari tau saya masuk di kubu yang mana). Di awal pelajaran, selalu ada kuis vocab atau kuis grammar. Kata salah satu profesor bahasa senior di tempat saya kerja, saya punya kemampuan bahasa yang baik. Dari beberapa test potensi akademik yang pernah saya ikuti, juga menunjukkan hal yang sama (nilai verbal di atas 600 dari nilai penuh 800). Suka menulis posting blog juga mungkin bisa menunjukkan indikasi yang sama. Jadi, obvious bahwa belajar bahasa asing bukan masalah bagi saya... dan kalau ada kuis vocab ato kui

Beda Suami dan Istri - part 2

* ...ditulis dalam keadaan melo... * Untuk para istri, tulisan ini bisa ditunjukkan ke suaminya (masing2). Terutama kalo udah males jelaskan kebutuhan istri yang (bisa jadi) sering dilupakan suami (ato suami yang pura2 nggak tau). Untuk para suami, tulisan ini penting, agar bisa ngerti kebutuhan emosional istri (dan memenuhinya) demi menjaga kesehatan jiwa dan raga dari omelan istri . Kebutuhan istri nggak sama dengan kebutuhan suami. Buat istri, punya suami yang keren tentu membanggakan, tapi buat apa suami keren, perlente, dan modis tapi nggak cinta ma istri ato anak2nya? Buat istri, punya suami yang bisa sama2 jadi companionship untuk hobi2 si istri bagus juga, tapi buat apa suami yang bisa jadi companionship tapi nggak ngasih keamanan finansial (=duit)? Para istri bukannya mata duitan, they're just being realistic. So, here are "Her needs" based on Dr. Willard Harley's book ("His Needs, Her Needs : Building an Affair – Proof Marriage"), after counsele

Beda Suami dan Istri - part 1

[ Bagi wanita lajang yang belum menikah, you might want to bookmark this page, and re-read when you got married. Bagi istri yang baru menikah, you might want to practice it to your own (!) husband. ] Waktu kami menikah, Ps. Yusak mengatakan kepada kami, bahwa menikah itu nggak ada sekolahnya. That's true. Tau2 menikah. Pasangan baru segera dihadapkan pada berbagai situasi yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Nggak pernah diajarkan di sekolah. Nggak ada kursus menikah. Nggak ada buku manual yang bisa dicontek untuk secara tepat menghadapi berbagai situasi sehari2. Semua harus dialami secara pribadi dan belajar dari segala kejadian... Trial and (berharap semoga nggak) error. Dr. Willard Harley adalah seorang konselor pernikahan. Beliau menulis sebuah buku berjudul "His Needs, Her Needs : Building an Affair – Proof Marriage" setelah meneliti 40rb kasus yang terjadi dalam pernikahan. Saya tentu kurang bisa empati (ato nggak pernah bisa empati) dengan apa yang dirasakan D

Culinary: Table For Two

Gambar
Suka dengan wisata kuliner? Saya nggak termasuk di dalamnya. Saya rewel dengan makanan. Di Jepang saya kesulitan mencari makanan yang cocok dengan lidah saya. Makanan yang bernama " i kan-salmon-beku-di-supermarket-yang-kemudian-digoreng-di-rumah-dan-dimakan-dengan-nasi-anget-plus-sambel-dari-indonesia " saya nobatkan sebagai The-best-food-I-ever-tasted-in-Japan (setelah mengalahkan kandidat kuat lainnya, yaitu indomie-goreng dan nasi-goreng-telor). Berbagai macam bentuk sushi, yakiniku, atau okonomiyaki, masih nggak bisa cocok dengan lidah saya. I prefer lemper instead of Sushi. I prefer bakso bakar instead of yakiniku dan I prefer dadar jagung instead of okonomiyaki (fyi: lemper and sushi, bakso bakar and yakiniku, dadar jagung and okonomiyaki, they look alike)... Forget about my weird-meal-preferences (make sure you know what you'll offer to me when you invite me for lunch or dinner at your house... ). For those who wants to have (or already have) a resto, let me prop

Indonesia dan Human Development Index

Baru-baru ini, PBB mengeluarkan laporan tentang Human Development Index (HDI) dari negara-negara di dunia. Indeks ini menunjukkan bagaimana kualitas hidup manusia di sebuah negara yang diindikasikan dari: (1) Rata-rata harapan hidup (life expentancy), (2) rata-rata lama menempuh pendidikan (years of schooling), dan (3) rata-rata pendapatan per kapita (Gross National Income per capita). Indeks ini memiliki skala 0 sampai 1. Indeks yang mendekati 0 berarti rakyat di negara tersebut memiliki rata-rata harapan hidup yang jelek (misalnya banyak yang meninggal di usia 40-50 tahun), rakyatnya tidak memiliki pendidikan yang baik (hanya lulus sekolah dasar) dan pendapatan perkapitanya rendah (kurang dari 1.5jt per bulan). Sementara indeks yang mendekati 1 berarti rata-rata harapan hidup rakyat di negara tersebut tinggi (misal rakyatnya rata2 meninggal di usia 80 tahun), rakyatnya memiliki pendidikan yang baik (rata2 lulus perguruan tinggi S1), dan pendapatannya tinggi (income rata2 per bulan r

Mesin Waktu

Judulnya mungkin cukup provokatif untuk membuat beberapa orang meluangkan waktu membaca blog ini (di tengah ke-sibuk-an atau ke-nganggur-annya). Tapi, sebelum dilanjutkan membaca, let me clarify bahwa sampai saat ini saya belum menciptakan mesin waktu seperti di film-film, yang memungkinkan seseorang berkelana ke masa lalu atau ke masa depan dan bertemu dengan versi muda atau tua dirinya sendiri. Riset saya di sini tentang compressed sensing untuk citra medis, juga nggak ada kena-mengenanya dengan mesin waktu. Jadi, lalu kenapa postingnya dikasi judul "Mesin Waktu"? Salah satu film tentang berkelana ke masa lalu adalah film The Time Traveler's Wife (2009) yang menceritakan romantika tentang seorang istri yang bersuamikan Time Traveler. Si suami memiliki gen yang membuat dirinya secara acak "pergi" ke masa silam. Di suatu waktu, dia bertemu dengan istrinya yang masih berusia 6 tahun, dan "calon" istrinya inipun jatuh cinta kepadanya. Di masa sekarang, m

Di Jepang Mahal?

Gambar
Menurut ECA Internasional (perusahaan human resource consulting di Amerika), Tokyo menduduki kota termahal peringkat 1 di dunia. Di peringkat berikutnya ada Oslo (Norwegia), Luanda (Angola), Nagoya (Jepang), Yokohama (Jepang), Stavanger (Norwegia), Kobe (Jepang), Copenhagen (Denmark), Genewa (Swiss), Zurich (Swiss). Kota New York (USA) berada di peringkat 29 (mungkin terpengaruh melemahnya nilai dolar). Peringkat 1, 4, 5, 7 adalah kota di Jepang. Dari fakta ini, (dengan sedikit nggak rela) bisa ditarik kesimpulan bahwa biaya hidup di Jepang mahal. Semahal apa? [For the sake of simplicity, I will use rupiah instead of yen] Di tempat saya tinggal (which is 40km from Tokyo - yang berarti sedikit banyak kena imbas ke-mahal-an biaya di Tokyo), saya mencatat beberapa harga kebutuhan pokok [P] dan nggak pokok [GP]: [P] Harga beras 5KG rata-rata 200rb (atau 40rb/kg) - (di Indonesia: 4rb/kg). [P] Harga nasi putih 200gram 10rb - (di Indonesia: 2rb). [P] Harga sekotak bento biasa 50rb - ada ju

Beda Pria dan Wanita

Gambar
Setelah beberapa minggu menikah, saya jadi (lebih) tahu beda pria dan wanita (yang simply nggak akan pernah saya mengerti seandainya saya nggak menikah). case #1: Wanita: "Yang... Kamu beli baju baru ya." Pria: "Loh...? Kenapa harus beli lagi? Kan masih punya banyak baju di lemari... " Wanita: "Yaah... Kita perlu punya banyak baju, agar bisa ganti-ganti dan nggak pake baju yang itu-itu terus..." Pria: "Banyak-banyak baju buat apa? Kan sekali pake cuman SATU rangkap? Lagian semakin sedikit baju, maka efisiensi masing-masing baju akan semakin tinggi. Artinya masing-masing baju akan benar-benar optimal sebelum habis masa pakainya. Kalo bajunya banyak, maka akan ada baju2 yang terlalu lama idle di lemari pakaian karena nggak terpake sehingga efisiensinya berkurang..." Wanita: ... [ speechless ] ... case #2: Wanita: "Yang... kamu kok nggak pernah nelepon aku kalo lagi kerja?" Pria: "Lah, untuk apa?" Wanita: "Yaaaa... telepon a

(Universitas) Chiba

Gambar
I've passed the first month in Japan dengan sehat, selamat, dan masih belum bisa ngomong Jepang. At least, saya sekarang sudah bisa baca hiragana dan katakana sedikit lebih cepat dari anak kelas 2 SD di Jepang. Untuk karakter Kanji, saya juga sudah bisa baca... Ya sekitar 20-an karakter dari total 2.000 karakter agar bisa baca koran dengan lancar. At least, saya sudah bisa membedakan kanji untuk karakter "Pria" dan "Wanita" yang tentunya sangat berguna ketika ke toilet umum. Pinginnya di tahun ke-3, sudah menguasai 2000 karakter kanji agar bisa survive di negara lain yang juga menggunakan karakter tersebut, seperti China, Taiwan atau Hongkong. Amin! Saya mulai suka dengan Universitas Chiba dan lingkungannya (padahal dulu nggak pernah kebayang bakal sampe di Universitas Chiba untuk dapetin Ph. D, kebayangnya ya dapetin Ph. D di computer science dari MIT, Harvard ato Universitas Ma Chung gitu...). Kenapa saya suka (Universitas) Chiba? First of all , lokasi Unive

Tokyofreecycle dan Microwave

Gambar
Microwave (ato sering disebut oven) adalah sebuah peralatan dapur yang menggunakan radiasi gelombang mikro untuk memasak atau memanaskan makanan. Apa saya perlu Microwave? Iya . Selama ini di apartemen hanya ada termos pemanas air yang fungsi utamanya adalah memanaskan air. Namun, karena keterbatasan appliances, saya berhasil memodifikasi termos pemanas air tersebut untuk: Penanak nasi Membuat mie instan (yang murah dan meriah dengan rasa anyep) Memanaskan makanan beku yang dibeli dari supermarket Pemanis dapur (karena itu merupakan satu2nya peralatan elektronik tercanggih di dapur apartemen) ( Please, jangan tanya bagaimana caranya termos pemanas air bisa jadi alat penanak nasi... ) Untuk mengurangi beban tugas dari termos pemanas air, tentu dibutuhkan Microwave. Microwave bisa didapatkan setidaknya dengan dua cara. Cara pertama adalah cara mudah, dengan membeli di supermarket seharga 8000 yen (800rb rupiah) untuk kualitas biasa, dan 15000 yen (1.5jt rupiah) yang dilengkapi dengan ber

Riset seksi

Hari ini, 1 Oktober adalah awal semester genap. Saya officially resmi menjadi research student periode Oktober 2010-April 2011 di bawah bimbingan Prof. Hideaki Haneshi, Laboratorium Frontier for Center Medical Engineering, Universitas Chiba Nusantara Jaya (UCNJ) (yang belakang itu tambahan aja, biar kliatan nasionalis, hihi2...) Kemaren diskusi dengan Pak Prof tentang topik riset - dan saat itu baru nyadar bahwa bidang beliau sebenarnya nggak terlalu nyambung dengan computer science yang saya harapkan. Dia pakar di medical imaging (seperti MRI, CT/PET dan teman2nya yang kurang saya kenal dengan baik). Sementara saya belom pakar di bidang apapun... Jadi, ya pantes kalo nggak nyambung, hihi2... Sebenernya, saya berharap untuk ada di Lab yang topik penelitiannya fokus di pengolahan citra medis yang erat kaitannya dengan kecerdasan buatan (seperti thesis master saya dulu). Tapi di lab ini, penelitiannya lebih ke arah citra medis dari sisi rekayasa, fisika ato matematika - dikit banget sisi

Second Language Acquisition

Bagaimana kita bisa berkomunikasi melalui bahasa adalah hal yang menakjubkan. Saat masih usia 2-3 tahun, kita nggak pernah sadar bagaimana kita mengembangkan kemampuan berbahasa ini. Tiba-tiba saja, kita dapat berbicara, membaca, dan menulis. Bahkan saat tulisan ini diketik, saya seolah-olah nyaris tidak memikirkan apa itu kata kerja, kata benda, kata sifat, prefiks dan sufiks. Konon kabarnya, prefiks (atau awalan seperti "me", "mem", "di", "ber") dan sufiks (seperti "i", "an", "kan", "nya") sangat sukar bagi orang asing yang mempelajari Bahasa Indonesia. Padahal bagi yang first language-nya Indonesia, prefiks atau sufiks semacam itu, hampir tidak pernah kita pikirkan saat kita berbahasa. SLA atau dalam bahasa Indonesia "Pemerolehan Bahasa Kedua" adalah bagaimana kita mendapatkan kemampuan berbahasa asing (selain bahasa asli kita). Ini juga tidak kalah menakjubkannya (misterius menurut saya) diba

Beasiswa ke Jepang? Enak ya...

Masih belum genap 2 minggu saya di Jepang (sejak sampe Narita tanggal 11 September lalu). Ketika masih di Indonesia, ungkapan "Wiih... enak ya bisa ke Jepang gratis..." sering saya dengar (baik secara eksplisit maupun implisit melalui body language). Benaran enak ya? Ya... bisa disebut enak kalo definisi enak adalah: Bisa jalan-jalan ke Jepang dengan tiket pesawat PP dibayarin. Bisa menikmati tenangnya taman kota di sore hari tanpa kuatir dipalak preman. Bisa ke mall di Tokyo yang dipenuhi dengan orang2 dengan berbagai dandanan (yang membuat kita aneh jika berjalan tanpa dandanan apapun) Bisa menikmati praktisnya sistem transportasi menggunakan kereta, yang biaya untuk sekali transfer antar stasiun dalam jarak kurang dari 5KM bisa dipake naek mikrolet Arjosari-Tidar seminggu. Bisa mencoba makanan dan minuman baru yang higienitasnya dipastikan terjamin. Bisa mendapatkan teman-teman baru dengan latar belakang budaya yang berbeda. Bisa mendapatan sistem pendidikan yang kabarnya